Jumat, 17 Agustus 2012

BELAJARLAH WALAUPUN KEPADA TUKANG TEMPE




Melihat mahasiswa belajar membuat tempe, namun sayang tempenya bau busuk dan berwarna hitam. Setelah dicoba berulang kali ada yang berhasil namun rasanya tidak enak. Sang dosen pun hanya mampu menjelaskan teori tentang pembuatan tempe, namun sayang tidak mampu membuat tempe yang enak, maklum pengalaman membuat tempenya hanya sebatas teori dan praktikum sehari ketika kuliahnya dulu. Bila demikian kenapa tidak mengundang tukang buat tempe untuk mengajarkan praktikum buat tempe. Sayangnya tidak bisa, karena tidak ada tukang tempe yang lulusan S2, sementara peraturan menyatakan harus sarjana S2 sajalah yang berhak mengajar praktikum mahasiswa.

Tidak dapat dipungkiri banyak juga dosen yang sejak SD hingga Doktor, kehidupannya tidak pernah jauh-jauh dari sekolah, setelah lulus pendidikan dengan strata tertinggi langsung bekerja di dunia kampus, akibatnya wawasan keilmuannya tidak jauh-jauh dari sekitar kampus.

Seorang Doktor yang bijak akan merelakan dirinya diajarkan oleh tukang tempe meskipun hanya lulusan SD.

Kampus yang bijak akan mengundang para ahli dari masyarakat untuk mengajarkan ilmunya kepada mahasiswanya, tidak peduli dia lulusan SD atau SMP, sepanjang orang itu mempunyai ilmu yang bermanfaat yang bisa dibagi kepada mahasiswa. Dengan demikian mahasiswa akan mendapatkan ilmu yang sesungguhnya.

Demikian, tulisan ini di buat, sekedar berbagi atas keprihatinan sekolah yang hanya mampu mencetak macan kertas. Dihari ulang tahun kemerdekaan Indonesia ini saya berharap semoga pendidikan Indonesia menjadi lebih baik lagi.

BELAJARLAH WALAUPUN KEPADA TUKANG TEMPE




Melihat mahasiswa belajar membuat tempe, namun sayang tempenya bau busuk dan berwarna hitam. Setelah dicoba berulang kali ada yang berhasil namun rasanya tidak enak. Sang dosen pun hanya mampu menjelaskan teori tentang pembuatan tempe, namun sayang tidak mampu membuat tempe yang enak, maklum pengalaman membuat tempenya hanya sebatas teori dan praktikum sehari ketika kuliahnya dulu. Bila demikian kenapa tidak mengundang tukang buat tempe untuk mengajarkan praktikum buat tempe. Sayangnya tidak bisa, karena tidak ada tukang tempe yang lulusan S2, sementara peraturan menyatakan harus sarjana S2 sajalah yang berhak mengajar praktikum mahasiswa.

Tidak dapat dipungkiri banyak juga dosen yang sejak SD hingga Doktor, kehidupannya tidak pernah jauh-jauh dari sekolah, setelah lulus pendidikan dengan strata tertinggi langsung bekerja di dunia kampus, akibatnya wawasan keilmuannya tidak jauh-jauh dari sekitar kampus.

Seorang Doktor yang bijak akan merelakan dirinya diajarkan oleh tukang tempe meskipun hanya lulusan SD.

Kampus yang bijak akan mengundang para ahli dari masyarakat untuk mengajarkan ilmunya kepada mahasiswanya, tidak peduli dia lulusan SD atau SMP, sepanjang orang itu mempunyai ilmu yang bermanfaat yang bisa dibagi kepada mahasiswa. Dengan demikian mahasiswa akan mendapatkan ilmu yang sesungguhnya.

Demikian, tulisan ini di buat, sekedar berbagi atas keprihatinan sekolah yang hanya mampu mencetak macan kertas. Dihari ulang tahun kemerdekaan Indonesia ini saya berharap semoga pendidikan Indonesia menjadi lebih baik lagi.

Jumat, 10 Agustus 2012

MEMAHAMI TENTANG ATOM
















 

RUANG RAKSASA DALAM ATOM

Sumber : http://id.harunyahya.com/id/works/4549/RUANG_RAKSASA_DALAM_ATOM


Udara, air, gunung, binatang, tumbuhan, tubuh anda, kursi yang anda duduki, singkatnya segala yang anda saksikan, sentuh dan rasakan, dari yang paling berat hingga yang paling ringan tersusun atas atom-atom. Setiap halaman yang anda baca tersusun atas miyaran atom. Atom adalah partikel yang sangat kecil sehingga tidak dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop yang paling hebat sekalipun. Diameter atom hanyalah berkisar seper satu juta milimeter.
 
Tidaklah mungkin bagi seseorang untuk melihat benda sekecil ini. Di bawah ini dipaparkan sebuah contoh untuk memahami dimensi atom:
 
Anggaplah bahwa anda memegang sebuah kunci di tangan. Sudah pasti, mustahil bagi anda untuk melihat atom-atom pada kunci tersebut. Jika anda bersikeras untuk melihat atom penyusun kunci tersebut, maka anda harus memperbesar kunci menjadi seukuran bumi. Jika anda telah berhasil melakukan pembesaran ini, maka atom-atom yang menyusun kunci tersebut akan terlihat berukuran sebesar buah cherry.
 
Di bawah ini satu lagi contoh agar kita dapat lebih memahami betapa kecilnya atom, dan bagaimana atom memenuhi segala tempat dan ruang yang ada.
 
Anggaplah kita ingin menghitung semua atom yang ada dalam sebutir garam dan anggaplah kita mampu menghitung satu milyar atom per detik. Kendatipun kita sangat terampil dalam berhitung, kita akan memerlukan lebih dari lima ratus tahun untuk menghitung jumlah keseluruhan atom yang menyusun sebutir garam yang sangat kecil ini. Subhanallaah…ini baru sebutir garam, bagaimana dengan jumlah atom yang menyusun alam semesta dan seisinya?
 
Kendatipun ukurannya yang teramat mungil, terdapat sebuah susunan yang sempurna, tanpa cacat, unik dan kompleks dalam atom tersebut yang kecanggihannya dapat disejajarkan dengan sistem yang kita lihat ada pada jagat raya.
 
Setiap atom tersusun atas sebuah inti dan sejumlah elektron yang bergerak mengikuti kulit orbital pada jarak yang sangat jauh dari inti. Di dalam inti terdapat partikel lain yang disebut proton dan netron.
 
Kekuatan Tersembunyi pada Inti
 
Inti atom terletak di bagian paling tengah dari atom dan terdiri dari proton dan netron dengan jumlah sesuai dengan sifat-sifat atom tersebut. Jari-jari inti atom berukuran sekitar seper sepuluh ribu jari-jari atom. Untuk menuliskannya dalam angka, jari-jari atom adalah 10-8 (0,00000001) cm, jari-jari inti adalah 10-12 (0,000000000001) cm. Jadi, volume inti atom adalah setara dengan seper sepuluh milyar volume atom.
 
Dikarenakan kita tidak dapat membayangkan benda sekecil ini, marilah kita ambil permisalan buah cherry di atas. Atom-atom akan terlihat sebesar buah cherry ketika kunci yang anda pegang diperbesar hingga mencapai ukuran bumi. Akan tetapi perbesaran ini masih sama sekali belum memungkinkan kita untuk melihat inti atom yang terlalu kecil untuk dilihat. Jika kita benar-benar ingin melihatnya maka kita harus meningkatkan perbesaran sekali lagi. Buah cherry yang mewakili ukuran atom harus diperbesar hingga menjadi sebuah bola raksasa dengan diameter dua ratus meter. Bahkan dengan perbesaran ini, inti atom tersebut berukuran tidak lebih dari sebutir debu yang teramat kecil.
 
Ketika kita bandingkan diameter inti atom yang berukuran 10-13 cm dan diameter atom itu sendiri, yakni 10-8 cm, maka yang kita dapatkan adalah sebagaimana berikut: jika kita asumsikan atom tersebut berbentuk bola, maka untuk mengisi bola tersebut hingga penuh, kita akan membutuhkan 1015 (1,000,000,000,000,000) inti atom!
 
Ada lagi yang lebih mengherankan: kendatipun ukuran inti hanya seper sepuluh milyar ukuran atomnya, inti tersebut memiliki berat 99,95% dari keseluruhan berat atom. Dengan kata lain, hampir seluruh berat atom terpusatkan pada inti. Misalkan anda memiliki rumah dengan luas 10 milyar m2 dan anda harus meletakkan semua perabotan rumah tangga dalam kamar seluas 1 m2 di dalam rumah tersebut. Mampukah anda melakukan hal ini? Sudah pasti anda tidak mampu melakukannya. Akan tetapi inilah yang terjadi pada inti atom akibat sebuah gaya yang sangat kuat yang tidak ada duanya di alam ini. Gaya ini disebut “strong nuclear force (gaya inti kuat)”, satu di antara empat gaya fundamental yang ada di alam semesta yakni: 1. strong nuclear force (gaya inti kuat), 2. weak nuclear force (gaya inti lemah), 3. gravitational force (gaya grafitasi), dan 4. electromagnetic force (gaya elektromagnetik).
 
Gaya inti kuat, yang merupakan gaya paling kuat yang ada di alam, mengikat inti atom sehingga stabil dan mencegahnya dari pecah berkeping-keping. Semua proton-proton pembentuk inti bermuatan positif dan, oleh karenanya, mereka saling tolak-menolak akibat gaya electromagnetik mereka yang sejenis. Akan tetapi, gaya inti kuat yang memiliki kekuatan 100 kali lebih besar dari gaya tolak-menolak proton ini menjadikan gaya electromagnetik tidak efektif. Hal inilah yang mampu menjadikan proton-proton pada inti terikat dan bergabung pada inti atom.
 
Singkat kata, terdapat dua gaya yang saling berinteraksi dalam sebuah atom yang amat kecil. Inti atom tersebut dapat terus-menerus berada dalam keadaan terikat dan stabil disebabkan karena gaya-gaya yang memiliki nilai yang akurat ini.
 
Ketika kita memperhatikan ukuran atom yang sangat kecil dan kemudian jumlah keseluruhan atom di jagat raya, sungguh tidak sepatutnya kita tidak mampu memahami adanya keseimbangan dan rancangan yang luar biasa pada alam ciptaan Allah ini. Sungguh jelas bahwa gaya-gaya fundamental di alam telah diciptakan Allah secara khusus dengan ilmu, hikmah dan kekuasaan yang maha besar.
 
Pengetahuan Tuhanku meliputi segala sesuatu. Maka apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran. (QS. Al-An’aam, 6:80)
 
Ruang Kosong pada Atom
 
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bagian terbesar dari sebuah atom terdiri dari ruang kosong. Mungkin kita bertanya-tanya dalam hati: “Mengapa mesti ada ruang kosong ini?” Marilah kita merenung sejenak. Secara sederhana, atom terdiri atas sebuah inti yang dikelilingi oleh elektron-elektron. Antara inti dan orbit elektron ini tidak dijumpai partikel atau benda kecil apapun. Jarak mikroskopis (yang padanya tidak dijumpai partikel apapun) ini ternyata sangat besar jika dilihat dari skala atom. Kita dapat memisalkan skala ini sebagaimana berikut: jika sebutir kelereng berdiameter 1 cm mewakili elektron yang terdekat dengan inti atom, maka inti atom tersebut berada pada jarak 1 km dari kelereng ini. Di bawah ini sebuah kutipan yang memberikan gambaran yang lebih jelas kepada kita tentang dimensi ruang kosong pada atom:
Terdapat ruang kosong besar [yang mengisi ruang] antara partikel-partikel dasar [penyusun atom]. Jika saya umpamakan proton dari inti atom oksigen sebagai kepala jarum yang tergeletak di atas meja di depan saya, maka elektron yang berputar mengelilinginya akan membuat orbit lingkaran yang melalui negeri Belanda, Jerman dan Spanyol (penulis kutipan ini hidup di Perancis). Oleh karenanya, jika semua atom yang menyusun tubuh saya saling mendekatkan diri satu sama lain, hingga semua atom ini saling bersentuhan, maka anda tidak akan mampu melihat saya lagi. Anda benar-benar tidak akan pernah dapat melihat saya dengan mata telanjang. [Tubuh] saya akan [menjadi] sekecil partikel debu berukuran seper sekian ribu milimeter. (Jean Guitton, Dieu et La Science: Vers Le Métaréalisme, Paris: Grasset, 1991, hal. 62)
Sampai di sini, kita telah memahami bahwa terdapat kemiripan antara ruang kosong pada sistem paling kecil seperti atom dengan ruang kosong pada sistem paling besar seperti alam semesta. Ketika kita arahkan penglihatan kita pada bintang-bintang, akan kita lihat ruang hampa sebagaimana ada pada atom. Terdapat ruang hampa berjarak milyaran kilometer di antara berbagai bintang dan di antara galaksi-galaksi. Namun, di kedua macam ruang hampa ini, terdapat sebuah keteraturan yang luar biasa yang sulit dipahami akal manusia.
 
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah. (QS. Al-Mulk, 67:3-4)
 
Wallaahu a’lam




SEBUAH RENUNGAN














Perbincangan Orang Singapura Tentang Kekayaan Indonesia

 

Suatu pagi, kami menjemput seseorangg klien di bandara. Orang itu sudah tua, kisaran 60 tahun. Si Bapak adalah pengusaha asal Singapura, dengan logat bicara gaya Melayu & English, beliau menceritakan pengalaman-pengalaman hidupnya kepada kami yang masih muda.

Beliau berkata,”Ur country is so rich!” Ah biasa banget denger kata-kata itu.

Tapi tunggu dulu.”Indonesia doesn’t need the world, but the world needs Indonesia,”lanjutnya.

“Everything can be found here in Indonesia, U don’t need the world.”

“Mudah saja, Indonesia paru-paru dunia. Tebang saja hutan di Kalimantan, dunia pasti kiamat. Dunia yang butuh Indonesia! Singapura is nothing, we can’t be rich without Indonesia 500.000 orang Indonesia berlibur ke Singapura tiap bulan. Bisa terbayang uang yang masuk ke kami, apartemen-apartemen terbaru kami yang beli orang-orang Indonesia, gak peduli harga selangit, laku keras. Lihatlah RS kami, orang Indonesia semua yang berobat. Terus, kalian tahu bagaimana kalapnya pemerintah kami ketika asap hutan Indonesia masuk? Ya, bener-benar panik. Sangat terasa,we are nothing. Kalian tahu ‘kan kalau Agustus kemarin dunia krisis beras, termasuk di Singapura dan Malaysia? Kalian di Indonesia dengan mudah dapat beras. Lihatlah negara kalian, air bersih di mana-mana, lihatlah negara kami, air bersih pun kami beli dari Malaysia.

Saya ke Kalimantan pun dalam rangka bisnis, karena pasirnya mengandung permata.Terlihat glitter kalau ada matahari bersinar. Penambang jual cuma Rp 3 ribu/kg ke pabrik China, si pabrik jual kembali seharga Rp 30 ribu/kg. Saya lihat ini sebagai peluang. Kalian sadar tidak, kalau negara-negara lain selalu takut meng-embargo Indonesia! Ya,karena negara kalian memiliki segalanya. Mereka takut kalau kalian menjadi mandiri, makanya tidak di embargo. Harusnya KALIANLAH YANG MENG-EMBARGO DIRI KALIAN SENDIRI.

Belilah pangan dari petani-petani kita sendiri, belilah tekstil garmen dari pabrik-pabrik sendiri. Tak perlu impor kalau bisa produk sendiri. Jika kalian bisa mandiri, bisa MENG-EMBARGO DIRI SENDIRI, INDONESIA WILL RULE THE WORLD!!

Kisah nyata ini bisa dibagikan kepada seluruh anak bangsa agar menyadari kekayaan alam negeri tercinta. Semoga para elit kekuasaan dapat terketuk hatinya agar mengelola negeri dengan cara yang benar agar Indonesia tidak terjerumus menjadi Failure State.

Sumber : http://luar-negeri.kompasiana.com/2011/11/07/perbincangan-orang-singapura-tentang-kekayaan-indonesia/








VIDEO MOTIVASI

KUMPULAN VIDEO MOTIVASI

























Kamis, 09 Agustus 2012

BERBAGI PEMIKIRAN: STUDENT CENTER LEARNING

BERBAGI PEMIKIRAN: STUDENT CENTER LEARNING: Diera informasi terbuka ini, guru bukan lagi satu-satunya sumber ilmu, bila ada hal yang kurang jelas, coba tanyakan dahulu lewat google. S...
DOWNLOAD STUDENT CENTER LEARNING

From teaching to learning paradigm

Student center learning

Download PPT

One Stop Learning: Climbing Bloom’s Ladder of Learning

One Stop Learning: Climbing Bloom’s Ladder of Learning: A Google search on “Bloom’s taxonomy” recently returned an impressive 1.63 million results! Apparently the literature available on the inte...

3 Idiots film pembaharuan sistem Pendidikan Dan Pola Pikir Orang tua


3 idiots you tube

3 Idiots, adalah film bergengre Drama komedi sederhana dengan sentilan kepada dunia pendidikan yang luar biasa. Pesan moral yang di sajikan adalah pesan moral mengenai, kenapa? dunia pendidikan hanya mencetak robot-robot pendidikan tanpa hati nurani. Yang hanya mementingkan kuantitas dan jauh dari kwalitas.
Film ini juga menyentil para orang tua “nakal”, yang mendidik anak mereka secara mambabi buta. Kamu harus bekerja di perusahaan ini! titik, kamu harus punya mobil, titik, kamu harus jadi orang berguna, titik. Kamu harus membanggakan titik, kamu harus punya mobil mewah, kamu harus punya romah gedong, kamu harus begini.. kamu harus begitu.. tanpa sempat mempartanyakan “Nak kalau gede mau jadi, apa… ikutilah hati nurani mu.. apa yang ada di dalam hati, sendiri.
Entah kamu jadi pemain bola, entah kamu jadi fotografer, entah kamu jadi penulis, entah kamu jadi pedagang. Asalkan kamu sadar akan pilihan mu itu dan tentu saja bahagia, kami selaku orang tua akan selalu mendukungmu karena kamu sebenarnya hanya sebuah titipan dari Tuhan.
Demikianlah pola pikir yang demikian yang di komunikasikan dengan lugas, di dalam film 3 Idiots ini. Sedangkan di dalam dunia pendidikan adalah tanpa sadar, seorang guru atau dosen menerapkan sebuah sistem, yang seharusnya sudah di revisi untuk saat sekarang ini, yaitu sistem pengajaran tanpa hati nurani dan otoriter.
Terlebih adalah proses pengajaran yang hanya berdasarkan teori, di mana kecakapan hanya di lihat dari tingginya nilai yang di dapat, terlepas dari kemampuan yang kita bisa, semua itu omong kosong, tanpa makna.
Kelulusan sangat biasa di jadikan hasil akhir dari sebuah akhir dan di patri menjadi tujuan utama. Padahal yang terpenting adalah mencapai sebuah mimpi yang kita idam-idamkan. Tentu saja tanpa hambatan dan arangan jalan mana yang kita pilih untuk mewujudkan impian tersebut, jika ini sudah dapat di pahami maka kesuksesan akan mengikuti di belakang kita.
3 Idiots, sebuah film tentang semangat hati nurani, persahabatan, ketulusan dan kekuatan pilihan berdasarkan hati nurani dan terlebih adalah kebahagian.

Sumber : http://deepblog-film.blogspot.com/2010/09/3-idiots-film-pembaharuan-sistem.html


KETIKA PENGAJAR DIGUGAT

Oleh: Rhenald Kasali *

SUATU ketika seorang mahasiswa tingkat undergraduate mengetuk ruang kerja saya di Bevier Hall– University of Illinois, Amerika Serikat (AS).

Sebagai teaching assistant di kampus itu, saya bertugas menggantikan seorang profesor yang mengajar mata kuliah consumer economics. Selain mengajar, saya juga membuat sebagian soal ujian dan memeriksanya.

Dengan mimik penuh percaya diri, dia menyampaikan masalahnya. Dia menunjuk lembar jawaban soal yang terdiri atas pilihan berganda (multiple choice) yang baru saja dia terima.Nilai yang dia dapat tidak terlalu jelek,tetapi dia kurang puas dan mengajak saya berdiskusi, khusus pada sebuah soal yang dianggapnya terbuka untuk didiskusikan. Setelah membacanya kembali, tiba-tiba saya tersadar, soalnya memang konyol sekali.

Pertanyaannya kurang lebih seperti ini. "Berapa lama rata-rata rumah tangga menggunakan handuk mandi?" Tentu saja setiap orang punya jawaban yang berbeda-beda. Namun karena mata kuliah ini didasarkan atas hasil riset, maka mahasiswa harus menguasai dasardasar perilaku konsumen yang datanya diperoleh secara riil dari riset. Jawabannya semua ada di buku teks. Jadi kalau buku dibaca atau bahan kuliah dipelototi, pasti mereka mudah menemukan jawabannya. Di buku teks jawaban tertulis, rata-rata rumah tangga mengonsumsi handuk selama delapan tahun. Dia memilih jawaban dua tahun.Tentu saja saya mencoretnya.

Bagi seorang guru, menemukan murid seperti ini mungkin biasa saja. Namun cerita berikut ini mungkin dapat mengubah pandangan Anda tentang cara mendidik atau bahkan membimbing orang lain, karyawan,atau bahkan diri sendiri agar berhasil dalam hidup.



Kekuatan Argumentasi

Mahasiswa saya tadi mengajak saya berdiskusi, "Prof," ujarnya. "Jawaban ini salah." Saya mengernyitkan dahi.Maklum, belum pernah saya mendengar seorang mahasiswa di tingkat persiapan berani-beraninya menyalahkan soal, apalagi menyalahkan isi buku. "Maksud saya, setelah saya tanya-tanya ke kiri-kanan, tak ada orang yang menyimpan handuk mandi sampai 8 tahun,"lanjutnya.

"Jadi berapa tahun?" tanya saya. "Ya dua tahun.Ini jawaban saya benar,"katanya lagi. Saya pun teringat dengan cara teman-teman saya sewaktu kuliah dulu mengakali dosen yang "lemah". Dosen seperti itu biasanya gampang diajak kompromi dan kalau kita pintar mengambil hatinya, angka bisa berubah.Maka,di kepala saya,berkompromi bukanlah karakter saya. Berkompromi sama dengan kelemahan, lembek, merendahkan martabat, plinplan. "Jadilah guru yang teguh." Kalimat itu terus mengalir di hati saya. Kompromi itu jelek, lemah, tidak konsisten, tidak berwibawa. "Ah, kamu ini cuma cari pembenaran saja. Ini justifikasi namanya.Pokoknya jawaban Anda salah.

Apa Anda tidak baca buku. Coba buka halaman 40," ujar saya pada mahasiswa tadi. "Betul,"katanya lagi. "Di buku memang tertulis begitu.Saya tahu." "Ah, Anda tidak baca saja…," ujar saya lagi.

"Bukan, tetapi ini tidak masuk akal." Dia mencoba menjelaskan. Namun sebagai orang Indonesia yang terbiasa dididik tanpa kompromi di sekolah, saya mencoba untuk tidak mendengarkan argumentasinya. Saya khawatir wibawa saya terganggu. Dosen kokdidebat. Namun dia tetap menjelaskan panjang lebar bahwa sekarang tidak ada lagi handuk yang seawet itu. Dua tahun sudah rusak."Dulu sabunnya tidak sekuat yang sekarang, lagipula mana ada produsen yang mau membuat handuk dengan material yang kuat dan harganya mahal? Konsumen memilih yang terjangkau dan produsen memilih barang-barang yang murah.Kalau cepat rusak tak apa-apa,setelah itu beli lagi,"katanya bersemangat. Matanya berbinar menjelaskan gagasannya dan penuh harap saya mau mengubah pendapat saya. Saya masih ingat dia menjelaskan tentang mesin cuci yang dulu tidak dipakai rumah tangga sehingga tidak merusak material. Lama kita berdebat dan sebenarnya saya suka mempunyai peserta didik yang kritis seperti itu. Namun, sebagai guru dari Indonesia, saya tidak suka ditawar-tawar.

Ini soal integritas. "Nope," jawab saya menolak permohonannya agar saya mengoreksi nilainya. Dia pun keluar dengan kecewa. Saya berpikir, urusan pun selesai. Namun, di luar dugaan, setengah jam kemudian dia kembali lagi. Kali ini dia datang diantar profesor saya.Seperti tak ada masalah sama sekali profesor itu datang dengan penuh senyum.

"Rhenald,"ujarnya. "I talk to this guy, and I like his idea." Sudah tahu arahnya, saya pun segera menukas."Yes, he did talk to me, and indeed he was wrong. He didn't give the right answer," ujar saya.

"Saya mengerti," jawab profesor itu,"Tapi perhatikan ini.Saya suka  cara berpikirnya. Dia memang memberi jawaban yang berbeda dengan buku, tetapi argumentasinya kuat dan dia benar." Singkat cerita, profesor itu meminta saya agar mendengarkannya dan memahami logika anak itu.

Kejadian itu sekali lagi telah membuka pikiran saya. Betapa  memalukannya otak reptil saya. Guru kok tertutup. Namun, saya beruntung segera menyadari kesalahan saya. Saya belajar bahwa saya menganut nilai-nilai yang salah.Tertutup, tak berkompromi, tegas, teguh, terlalu mengedepankan wibawa hanyalah merupakan bentuk defensif saya sebagai guru yang sebenarnya hanya perwujudan dari rasa takut yang berlebihan saja.

Takut dibilang lembek, kompromistis, mudah dirayu, tidak objektif,dan sebagainya.Pendapat yang semula saya tentang kini harus saya terima dan nilai anak itu saya koreksi. Bahkan seperti penjual kacang rebus yang suka menambah kacang ke dalam bungkusan pelanggannya, saya pun memberikan bonus angka kepadanya. Mendidik adalah lebih dari sekadar menjaga imej.

Mendidik adalah proses menjadikan orang lain seorang "master" dan bukan menciptakan pengikut. Yang ingin kita lahirkan adalah manusia yang mampu berpikir,terbuka terhadap logika. Bukan manusia-manusia dogmatik yang hanya mengikuti maunya kita, menulis apa yang kita diktekan, berpendapat apa yang menjadi pikiran kita, dan tak bisa menerima perbedaan pendapat. Malas berpikir.

Keluar dari Buku

Kisah anak-anak yang tak mampu berpikir di luar buku teks sudah banyak kita saksikan. Salah satu film yang paling saya suka dan selalu saya pakai untuk mengajari dosen-dosen muda menjadi pendidik adalah potongan film yang dibintangi Julia Roberts berjudul Monalisa Smile.

Dalam film itu dikisahkan kesulitan seorang guru yang mengajar karena setiap kali dia menampilkan slide yang diambil dari buku, selalu disambar murid-muridnya yang berebut menjelaskan.

Dia benar-benar bingung. Muridnya aktif-aktif dan pintar-pintar. Mereka sudah membaca assignment sebelum pelajaran dimulai. Mereka benar-benar telah mempersiapkan diri dengan baik sebelum masuk kelas dengan membaca, membuat ringkasan, dan memiliki kepercayaan diri yang kuat dan aktif berbicara. Hari pertama mengajar dia gagal total. Namun minggu berikutnya, setelah merenungi dalam-dalam, dia mendapatkan ide.

Kali ini dia mengajak murid-muridnya keluar dari buku teks. Dia menunjukkan slide yang sama sekali baru. Tak ada di buku dan bahan ajarannya sama sekali baru.

"Coba lihatlah gambar ini. Apakah ini bagus?" Semua murid tertegun.

Gambar itu belum pernah mereka lihat dan tanpa referensi mereka tidak punya acuan sama sekali. Padahal, selama ini mereka hanya mengikuti perintah buku. Gambar itu bagus kalau kalimat di buku berkata gambar itu bagus. Sekarang saat gambar itu tak ada penjelasannya, mereka pun tak berani berpendapat. Mereka saling lihat kiri-kanan. Seorang yang mencoba menjawab kebingungan. "Apakah ada gambar yang bagus?" "Siapa yang berhak mengatakannya?" "Sesuatu yang bagus itu akan menjadi bagus tergantung siapa yang mengatakannya." Mereka terbelah. Ibu guru pun menjelaskan wisdom-nya. "Look, kalian baru saja keluar dari cara berpikir buku teks," ujarnya.

Dia mengajarkan perihal kehidupan, yaitu berani berpendapat dan membuat keputusan pribadi. Apa yang dapat dipelajari dari film Monalisa Smile dan kasus yang saya alami saat saya menjadi teaching assistant di University of Illinois dan berhadapan dengan mahasiswa yang minta agar saya mengoreksi jawaban soalnya 15 tahun yang lalu itu? Benar! Kita adalah manusia dan tugas guru adalah mendidik manusia,memerdekakannya dari segala tekanan, dari perilaku-perilaku buruk, dari pikiran-pikiran negatif, dari rasa sok pintarnya yang sesungguhnya belum apa-apa, dari belenggu-belenggu dogma, dan mengajaknya melihat keindahan dari apa yang diciptakan Tuhan.

Dari semua itu,yang terpenting adalah bagaimana kita hidup dengan otak yang terbuka dan mengajarkan keterbukaan. Bukankah otak kita bekerjanya seperti parasut, yang artinya dia baru bisa dipakai kalau dia mengembang dan terbuka? Itulah yang saya ajukan selama ini kepada anak-anak didik saya dan terbukti mereka mampu menjadi orang-orang yang hebat. Itu pula yang saya sharing-kan kepada para guru dan dosen.

Sebagian orang cepat mengubah diri, tapi sebagian pendidik lain tidak peduli dengan cara ini. Mereka tetap ingin mengajar dengan cara-cara dogmatik. Ingin dipuja tanpa argumentasi,tak mau mendengarkan, takut dibilang lembek, dan ingin diterima bak seorang ulama besar yang tak terbantahkan. Itulah hidup, tak semua orang mau berubah. Namun Anda tak perlu cemas.

Orang-orang seperti itu sudah pernah menyurati saya dengan amarah berlembar-lembar. Mereka menembaki saya dengan ratusan peluru. Di antara surat-surat cinta mereka pun ada yang berisi ancaman, memperingatkan saya dan mengusir dari keguruan ini. Namun saya berkeyakinan, seorang pendidik sejati tak akan menyerah oleh ancaman-ancaman kosong. Dia tak berorientasi pada persaingan, melainkan pada masa depan anak-anaknya.(*)

SEKOLAH 5 CENTI

Sekolah 5 Centi

Setiap kali berkunjung ke Yerusalem, saya sering tertegun melihat orang-orang Yahudi orthodox yang penampilannya sama semua. Agak mirip dengan China di era Mao yang masyarakatnya dibangun oleh dogma pada rezim otoriter dengan pakaian ala Mao. Di China, orang-orang tua di era Mao jarang senyum, sama seperti orang Yahudi yang baru terlihat happy saat upacara tertentu di depan Tembok Ratapan. Itupun tak semuanya. Sebagian terlihat murung dan menangis persis di depan tembok yang banyak celahnya dan di isi kertas-kertas bertuliskan harapan dan doa.
Perhatian saya tertuju pada jas hitam, baju putih, janggut panjang dan topi kulit berwarna hitam yang menjulang tinggi di atas kepala mereka. Menurut Dr. Stephen Carr Leon yang pernah tinggal di Yerusalem, saat istri mereka mengandung, para suami akan lebih sering berada di rumah mengajari istri rumus-rumus matematika atau bermain musik. Mereka ingin anak-anak mereka secerdas Albert Einstein, atau sehebat Violis terkenal Itzhak Perlman.
Saya kira bukan hanya orang Yahudi yang ingin anak-anaknya menjadi orang pintar. Di Amerika Serikat, saya juga melihat orang-orang India yang membanting tulang habis-habisan agar bisa menyekolahkan anaknya. Di Bekasi, saya pernah bertemu dengan orang Batak yang membuka usaha tambal ban di pinggir jalan. Dan begitu saya intip rumahnya, di dalam biliknya yang terbuat dari bambu dan gedek saya melihat seorang anak usia SD sedang belajar sambil minum susu di depan lampu templok yang terterpa angin.Tapi tahukah anda, orang-orang yang sukses itu sekolahnya bukan hanya 5 senti?
Dari Atas atau Bawah ? Sekolah 5 senti dimulai dari kepala di bagian atas. Supaya fokus, maka saat bersekolah, tangan harus dilipat, duduk tenang dan mendengarkan. Setelah itu, apa yang di pelajari di bangku sekolah diulang dirumah, di tata satu persatu seperti melakukan filing, supaya tersimpan teratur di otak. Orang-orang yang sekolahnya 5 senti mengutamakan raport dan transkrip nilai. Itu mencerminkan seberapa penuh isi kepalanya. Kalau diukur dari kepala bagian atas, ya paling jauh menyerap hingga 5 sentimeter ke bawah.
Tetapi ada juga yang mulainya bukan dari atas, melainkan dari alas kaki. Pintarnya, minimal harus 50 senti, hingga ke lutut. Kata Bob Sadino, ini cara goblok. Enggak usah mikir, jalan aja, coba, rasain, lama-lama otomatis naik ke atas. Cuma, mulai dari atas atau dari bawah, ternyata sama saja. Sama-sama bisa sukses dan bisa gagal. Tergantung berhentinya sampai dimana.
Ada orang yang mulainya dari atas dan berhenti di 5 senti itu, ia hanya menjadi akademisi yang steril dan frustasi. Hanya bisa mikir tak bisa ngomong, menulis, apalagi memberi contoh. Sedangkan yang mulainya dari bawah juga ada yang berhenti sampai dengkul saja, seperti menjadi pengayuh becak. Keduanya sama-sama berat menjalani hidup, kendati yang pertama dulu bersekolah di ITB atau ITS dengan IPK 4.0. Supaya bisa menjadi manusia unggul, para imigran Arab, Yahudi, China, dan India di Amerika Serikat menciptakan kondisi agar anak-anak mereka tidak sekolah hanya 5 senti tetapi sekolah 2 meter. Dari atas kepala hingga telapak kaki. Pintar itu bukan hanya untuk berpikir saja, melainkan juga menjalankan apa yang dipikirkan, melakukan hubungan ke kiri dan kanan, mengambil dan memberi, menulis dan berbicara. Otak, tangan, kaki dan mulut sama-sama di sekolahkan, dan sama-sama harus bekerja. Sekarang saya jadi mengerti mengapa orang-orang Yahudi Mengirim anak-anaknya ke sekolah musik, atau mengapa anak-anak orang Tionghoa di tugaskan menjaga toko, melayani pembeli selepas sekolah.
Sekarang ini Indonesia sedang banyak masalah karena guru-guru dan dosen-dosen nya – maaf- sebagian besar hanya pintar 5 senti dan mereka mau murid-murid nya sama seperti mereka. Guru Besar Ilmu Teknik (sipil) yang pintarnya hanya 5 senti hanya asyik membaca berita saat mendengar Jembatan Kutai Kartanegara ambruk atau terjadi gempa di Padang. Guru besar yang pintarnya 2 meter segera berkemas dan berangkat meninjau lokasi, memeriksa dan mencari penyebabnya. Mereka menulis karangan ilmiah dan memberikan simposium kepada generasi baru tentang apa yang ditemukan di lapangan.Yang sekolahnya 5 senti hanya bisa berkomentar atas komentar-komentar orang lain. Sedangkan yang pandainya 2 meter cepat kaki dan ringan tangan.Sebaliknya yang pandainya dari bawah dan berhenti sampai di dengkul hanya bisa marah-marah dan membodoh-bodohi orang-orang pintar, padahal usahanya banyak masalah.
Saya pernah bertemu dengan orang yang memulainya dari bawah, dari dengkul nya, lalu bekerja di perusahaan tambang sebagai tenaga fisik lepas pantai. Walau sekolahnya susah, ia terus menabung sampai akhirnya tiba di Amerika Serikat. Disana ia hanya tahu Berkeley University dari koran yang menyebut asal sekolah para ekonom terkenal.Tetapi karena bahasa inggris nya buruk, dan pengetahuannya kurang, ia beberap kali tertipu dan masuk di kampus Berkeley yang sekolahnya abal-abal. Bukan Berkeley yang menjadi sekolah para ekonom terkenal. Itupun baru setahun kemudian ia sadari, yaitu saat duitnya habis. Sekolah tidak jelas, uang pun tak ada, ia harus kembali ke Jakarta dan bekerja lagi di rig lepas pantai.
Dua tahun kemudian orang ini kembali ke Berkeley, dan semua orang terkejut kini ia bersekolah di Business School yang paling bergengsi di Berkeley. Apa kiatnya? “Saya datangi dekannya, dan saya minta diberi kesempatan . Saya katakan, saya akan buktikan saya bisa menyelesaikannya. Tetapi kalau tidak diberi kesempatan bagaimana saya membuktikannya?”Teman-teman nya bercerita, sewaktu ia kembali ke Berkeley semua orang Indonesia bertepuk tangan karena terharu. Anda mau tahu dimana ia berada sekarang?Setelah meraih gelar MBA dari Berkeley dan meniti karir nya sebagai eksekutif, kini orang hebat ini menjadi pengusaha dalam bidang energy yang ramah lingkungan, besar dan inovatif.Saya juga bisa bercerita banyak tentang dosen-dosen tertentu yang pintarnya sama seperti Anda, tetapi mereka tidak hanya pintar bicara melainkan juga berbuat, menjalankan apa yang dipikirkan dan sebaliknya.
Maka jangan percaya kalau ada yang bilang sukses itu bisa dicapai melalui sekolah atau sebaliknya. Sukses itu bisa dimulai dari mana saja, dari atas oke, dari bawah juga tidak masalah. Yang penting jangan berhenti hanya 5 senti, atau 50 senti. Seperti otak orang tua yang harus di latih, fisik anak-anak muda juga harus di sekolahkan. Dan sekolahnya bukan di atas bangku, tetapi ada di alam semesta, berteman debu dan lumpur, berhujan dan berpanas-panas, jatuh dan bangun.

Rhenald Kasali

BELAJAR NON FORMAL

80% Belajar Adalah NonFormal

by Rhenald Kasali

Kalau sebuah studi menemukan bahwa tempat belajar utama telah berubah, siapkah Anda berubah?
Dulu 80% pusat belajar adalah lembaga, sekolah, kampus, kursus. Sekarang 80 % pusat belajar itu justru ada di masyarakat, dimana kita menghabiskan waktu terbanyak.
Saya tertegun saat didatangi remaja asal Papua yang jauh-jauh datang dari puncak pegunungan dan gagal berkompetisi untuk memasuki Perguruan Tinggi Negeri di Pulau Jawa. Seperti para remaja dari Pulau Buru yang menumpang hidup di rumah seorang kerabat di daerah Bogor, atau para remaja dari Pulau Simeleu di Aceh yang jauh dan terpencil dan masih terbengong-bengong melihat pijaran lampu yang menyala tiada henti di Jakarta.
Semua berharap bisa kuliah dan memperbaiki kehidupannya. Ternyata untuk bisa sekolah tinggi itu bukan cuma perlu kegigihan. Pintunya tak dibukakan seperti kita mengetuk pintu. Di sana ada kompetisi, dan mungkin juga ketidakadilan bagi mereka yang datang dari daerah pedalaman dengan semangat merah-putih. Sudah tidak bisa mencicipi subsidi BBM dan listrik, bertarung mendapatkan bangku sekolah milik pemerintah pun tidak bisa.
Universitas negeri tentu punya jawabannya, “kami sudah buka pintu lewat jalur undangan”. Kalau masih ada rasa ketidakadilan ini tentu menunjukan ada gap antara kampus dengan rakyat yang memimpikan pendidikan, dan ini harus terus dijembatani.
Tetapi baiklah kita kembali ke topik semula, yaitu bagaimana melatih para remaja yang gagal memasuki jalur pendidikan formal tetapi tetap bergengsi dan tidak mempermalukan atau menjatuhkan self esteem. Jauh-jauh datang dari pegunungan, dilepas sanak keluarga, mengapa kembali tanpa hasil?
Dengan kata lain harus ada kompensasi dari jerih payah. Dan pintu seperti ini baiknya harus dibuka lebar-lebar. Sayangnya dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi yang baru disahkan di parlemen, jembatan ini tidak ada. Logika yang berkembang hanya mencari payung hukum sebagai pengganti BLU. Jadi undang-undang baru ini belum visioner.

Dunia Informal
Dunia informal pada dasarnya sangat kaya dengan pengetahuan dan keterampilan. Tetapi dunia informal tidak memberi gengsi dan pengetahuan sebelum Anda berhasil. Beda benar bila Anda kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas negeri. Biarpun tidak lulus, atau jadi dokter biasa-biasa saja, sejak kuliah Anda sudah bisa pamer jaket, kirim foto dengan identitas kampus. Dunia informal sebaliknya.
Hari sabtu kemarin, saat mewawancarai calon-calon mahasiswa peserta program doktor di UI saya pun menggali potensi mereka. Sayang sekali saya harus katakan bahwa mereka masih berpikir ilmu pengetahuan hanya ada di kampus. Ketika saya tanyakan buku apa yang terakhir mereka baca, hampir semuanya sulit menyebutkannya. Padahal ijazah S1 dan S2 mereka bagus-bagus dengan indeks prestasi yang tinggi-tinggi. Tetapi mereka terakhir membaca buku saat kuliah di jalur formal.
Come on! Tahukan Anda bahwa ilmu yang kita pelajari di kampus cepat tertinggal? Ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat dan adu kejar antara dosen dan para penjelajah pengetahuan terus terjadi.
Sebagian besar ilmu itu ada di dunia maya, dan sebagian lagi ada di tangan orang-orang hebat. Saya pikir inilah saatnya bagi para social entrepreneur untuk membangun komunitas-komunitas pembelajaran yang bergengsi tinggi dan memberi impak besar. Brandnya harus kuat agar para remaja tidak patah semangat, namun ilmunya harus lebih kuat lagi.
Kalau di India saja Bunker Roy bisa membuat orang-orang buta huruf menjadi guru-guru yang hebat di bawah naungan Barefoot College (akademi tanpa alas kaki), mengapa kita tidak bisa? Di desa Pare-Kediri, anak muda bisa membuat Kampung Inggris yang menjadi alternatif EF atau LIA. Di Jember ada komunitas Jember Festival yang dikembangkan Dinar Fariz, seorang Ashoka Fellow, dan masih banyak lagi.
Kalau dulu orang merasa bangga bisa bergabung dengan Guruh Soekarno Putra di Swara Mahardika atau dengan Rendra di Bengkel Teater-nya, maka sekarang orang-orang hebat juga harus turun meminjamkan strong brand yang mereka punya untuk menggantikan gelar ijazah dari UI, ITB, ITS atau UGM kepada para remaja yang kehilangan pijakan. Latihlah anak-anak muda agar mereka bisa menjadi sama hebatnya dengan Anda.
Hanya saja, tingkat keberhasilan seseorang di dunia informal sangat ditentukan oleh karakter informalitas yang mengacu pada kekuatan individu. Di dunia informal tidak ada absensi, petugas kebersihan, ruang kelas dengan jam yang tertata, pengajar yang terstruktur dan seterusnya. Juga tidak ada ijazah. Jadi semua tergantung Anda. Tergantung kemistri dengan tokoh, disiplin diri, daya juang, kejujuran, assertiveness, dan tentu saja impian Anda. Anda tinggal menentukan mau jadi pengekor seumur hidup, atau menjadi pelopor-pembaharu sebaliknya, di dunia formal Anda wajib belajar segala hal, baik yang relevan maupun kurang relevan buat hidup Anda. Dan tentu saja serba kognitif.
Anak-anak muda, datangi tokoh-tokoh idola Anda dan tagihlah komitmen mereka. Kalian bisa sekedar numpang tidur di sana, tetapi bayarlah dengan kesungguhan dan kerja keras. Jangan berpikir masa depan hanya ada di dunia formal. Saya sendiri sedang berevolusi dari kampus UI ke Rumah Perubahan. Saya yakin ribuan orang siap mengeksplorasi dunia informal untuk kemaslahatan bersama.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

KELUAR DARI KECAKAPAN UJIAN

Keluar Dari “Kecakapan Ujian”

Setiap kali memasuki masa Ujian Nasional (UN), bangsa ini heboh. Sebelum ujian heboh, setelah ujian juga gaduh. Dengan dalih memberi motivasi, guru-guru malah membuat anak-anak stres dan bersedih menjelang UN. Orang tua dipanggil, anak menangis karena suasana yang dibangun para guru adalah para murid itu “banyak dosa” dan telah melakukan kesalahan pada orangtua. Alhasil bukannya plong, malah banyak murid yang mengalami histeria yang disebut “kesurupan” atau “kerasukan” setan.

Mengapa ujian nasional menjadi segala-galanya dalam hidup ini? Apakah tidak ada cara lain untuk membuka pintu masa depan anak selain ujian?
Saya ingin mengajak bangsa ini keluar dari metode pendidikan cara pabrikan yang menghasilkan “produk-produk” yang standar, yang seakan-akan anak adalah “output” hasil produksi. Kita seperti sedang melewati sebuah area "ban berjalan" dengan seorang manajer  Jepang, yang mengawasi ada-tidaknya produk yang cacat (defect), di luar standar.

Mereka yang berada di luar standar itu dalam pendidikan kita sebut “berbakat khusus” (special talent), namun di pabrik kita sebut “produk gagal”. Jelajahilah mesin pencari Google dan ketiklah kata “special talent”, maka Anda akan menemukan anak-anak seperti inilah yang ditawari beasiswa. Namun apa yang kita lakukan dengan anak-anak itu di sini?

Kecakapan Bakat
David McClelland pernah menyatakan bahwa suatu bangsa harus dibangun dengan sistem kecakapan, bukan kekerabatan, apalagi didasarkan warna kulit atau sentimen-sentimen kesamaan lahiriah. Sistem kecakapan itu mulai diperbincangkan oleh Confucius, diterapkan oleh Dinasti Han di China pada abad ke 2 SM, dan dibawa ke dunia barat, lalu disebarkan ke seluruh dunia.

Pada awal peradaban modern, manusia yang dulu percaya pada kecakapan otot beralih ke kecakapan intelegensia (IQ). Di era world 1.0, saat lapangan pekerjaan terbesar hanya bisa diberikan oleh negara, sistem kecakapan dipersandingkan antara IQ dengan ujian pengetahuan. Demikianlah generasi tua Indonesia mengikuti ujian seleksi masuk Universitas Negeri atau seleksi menjadi PNS melalui pemeriksaan kecapan tertulis.  Yang diuji adalah rumus-rumus, mulai dari bahasa, IPA, matematika, hingga Pancasila. Rumus-rumus itu dihafalkan dituangkan pada kertas.  Sedangkan sekolah swasta dan dunia usaha memilih kecakapan intelegensia.

Ujian tertulis dengan ujian pengetahuan menjadi penting karena jumlah pesertanya massal dan negara harus bertindak secara adil. Negara adalah segala-galanya.
Tetapi itukan dulu. Sekarang ini pilihan masyarakat sudah begitu luas. Pekerjaan bukan hanya ada di pemerintahan, dan sekolah tinggi yang bagus bukan hanya Universitas Negeri. Masyarakatnya boleh memilih, mau hidup di world 0.0, atau menjadi pengusaha global, konsultan, seniman atau professional di world 2.0 (globalisasi dini) atau world 3.0 (lihat kolom saya: Empat Dunia Yang Membingungkan).

Artinya masyarakat bangsa ini tak menggantungkan lagi kehidupannya untuk menjadi PNS. PNS bukanlah segala-galanya.  Dunia ini sendiri begitu terbuka, penuh kesesakan dan pilihan, bahkan persaingan dan saling melengkapi.  Dunia yang sesungguhnya itu bukan membutuhkan kecakapan ujian, melainkan kecakapan-kecakapan impak, yaitu apa yang sebenarnya dapat dilakukan seseorang dari pendidikan yang ditempuhnya. Kalau seseorang belajar tentang pertanian, maka ia bisa buat apa dengan ilmunya itu? Kalau ia belajar membuat robot, apa impak yang bisa diperbuat? Kalau sekolah kedokteran, bisakah berkiprah di sektor kesehatan? Demikian seterusnya.
Kecakapan seperti ini disebut kecakapan bakat (talent merit) dan pernah merisaukan Mendiknas Singapura 20 tahun lalu saat negara merasa segala-galanya. Sekarang ini Singapura telah beralih ke sistem kecakapan bakat yang memungkinkan anak-anak menemukan pintu masa depannya dengan lebih damai dan lebih membahagiakan.

Untuk memberikan ilustrasi, saya ceritakan kembali pengalaman saya saat mengajar mata kuliah “International Marketing”. Mata kuliah ini diberikan kepada mahasiswa senior di Program S1 dan sebagai prasyaratnya mereka harus sudah lulus “Dasar-Dasar Marketing”. Suatu ketika saya iseng menanyakan berapa mahasiswa yang mendapat nilai A di kelas marketing yang diambil satu dua semester sebelumnya, dan saya minta mereka maju kedepan. Dan sungguh saya tak percaya bagaimana anak-anak yang kurang bergaul, kurang pandai mengekspresikan pikiran, bahkan dikenal sebagai anak yang berbicara sinis, dan berpenampilan tidak “marketable” dari kacamata rekan-rekannya, bisa diberi nilai A.

Begitulah “the power of exam merit”. Mereka mendapatkan nilai “A” dalam transkrip nilai karena bertemu dengan pengajar-pengajar yang hanya berorientasi pada hasil ujian, bukan pendidik yang mengubah cara mereka berpikir. Di atas kertas pada saat ujian mereka benar-benar cerdas, hafalannya bagus, analisisnya ok, tetapi mengapa untuk hal sederhana saja tak mampu mengaplikasikan pengetahuannya? Saya jadi teringat kisah seorang teman yang belajar bahasa Inggris di Amerika Serikat supaya bisa kuliah S2 di Amerika.  Belajar bahasa Inggris di masyarakat yang berbahasa Inggris kok di kamar memakai headset?

Kalau demikian cara kita mendidik anak-anak ini, maka bisa saya bayangkan mengapa pengusaha mengeluh lulusan-lulusan kita tidak siap pakai, dan mengapa terdapat gap besar antara pilihan sekolah dengan pilihan profesi. Anak-anak mengeluh sekolahnya susah karena mereka tidak bisa mengekspresikan bakat yang mereka cintai. Guru mengeluh murid-murid tak mempersiapkan belajar di rumah dengan baik. Orang tua mengeluh anak-anaknya menjadi pemberang. Dan tentu saja di masa depan, dari sistem pendidikan seperti ini hanya akan dilahirkan sarjana-sarjana kertas, atau ilmuwan-ilmuwan paper, yang hanya asyik membuat makalah, bukan impact!

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

DUA JENIS GURU

Dua Jenis Guru (oleh Rhenald Kasali)


suatu pemikiran yang menjawab kenapa pendidikan di Indonesia tak maju2.
Tulisan menarik dari Rhenald Kasali di Seputar Indonesia (Kamis, 5 Mei 2011) untuk kita (terutama saya) renungkan.
Di Hari Pendidikan lalu, saya bertemu dua jenis guru. Guru pertama adalah guru kognitif, sedangkan guru kedua adalah guru kreatif. Guru kognitif sangat berpengetahuan.Mereka hafal segala macam rumus, banyak bicara, banyak memberi nasihat, sayangnya sedikit sekali mendengarkan.
Sebaliknya, guru kreatif lebih banyak tersenyum,namun tangan dan badannya bergerak aktif. Setiap kali diajak bicara dia mulai dengan mendengarkan, dan saat menjelaskan sesuatu, dia selalu mencari alat peraga.Entah itu tutup pulpen, botol plastik air mineral,kertas lipat,lidi,atau apa saja. Lantaran jumlahnya hanya sedikit, guru kreatif jarang diberi kesempatan berbicara. Dia tenggelam di antara puluhan guru kognitif yang bicaranya selalu melebar ke mana-mana. Mungkin karena guru kognitif tahu banyak, sedangkan guru kreatif berbuatnya lebih banyak.
Guru Kognitif
Guru kognitif hanya mengajar dengan mulutnya.Dia berbicara panjang lebar di depan siswa dengan menggunakan alat tulis. Guru-guru ini biasanya sangat bangga dengan murid-murid yang mendapat nilai tinggi. Guru ini juga bangga kepada siswanya yang disiplin belajar, rambutnya dipotong rapi, bajunya dimasukkan ke dalam celana atau rok, dan hafal semua yang dia ajarkan. Bagi guru-guru kognitif, pusat pembelajaran ada di kepala manusia, yaitu brain memory.Asumsinya, semakin banyak yang diketahui seseorang, semakin pintarlah orang itu.
Dan semakin pintar akan membuat seseorang memiliki masa depan yang lebih baik. Guru kognitif adalah guruguru yang sangat berdisiplin. Mereka sangat memegang aturan, atau meminjam istilah para birokrat (PNS),sangat patuh pada ”tupoksi”.Saya sering menyebut mereka sebagai guru kurikulum. Kalau di silabus tertulis buku yang diajarkan adalah buku ”x” dan babbab yang diberikan adalah bab satu sampai dua belas,mereka akan mengejarnya persis seperti itu sampai tuntas.
Karena ujian masuk perguruan tinggi adalah ujian rumus, guru-guru kognitif ini adalah kebanggaan bagi anakanak yang lolos masuk di kampus-kampus favorit.Kalau sekarang, mereka adalah kebanggaan bagi siswa-siswa peserta UN. Sayangnya, sekarang banyak ditemukan anak-anak yang cerdas secara kognitif sulit menemukan ”pintu” bagi masa depannya.Anak-anak ini tidak terlatih menembus barikade masa depan yang penuh rintangan, lebih dinamis ketimbang di masa lalu, kaya dengan persaingan, dan tahan banting.
Saya sering menyebut anakanak produk guru kognitif ini ibarat kereta api Jabodetabek yang hanya berjalan lebih cepat daripada kendaraan lain karena jalannya diproteksi,bebas rintangan. Beda benar dengan kereta supercepat Shinkanzen yang memang cepat. Yang satu hanya menaruh lokomotif di kepalanya,sedangkan yang satunya lagi, selain di kepala, lokomotif ada di atas seluruh roda besi dan relnya.


Guru Kreatif
Ini guru yang sering kali dianggap aneh di belantara guru-guru kognitif.Sudah jumlahnya sedikit, mereka sering kali kurang peduli dengan tupoksi dan silabus. Mereka biasanya juga sangat toleran terhadap perbedaan dan cara berpakaian siswa. Tetapi, mereka sebenarnya guru yang bisa mempersiapkan masa depan anak-anak didiknya.Mereka bukan sibuk mengisi kepala anak-anaknya dengan rumus-rumus, melainkan membongkar anak-anak didik itu dari segala belenggu yang mengikat mereka.
Belenggu- belenggu itu bisa jadi ditanam oleh para guru, orang tua, dan tradisi seperti tampak jelas dalam membuat gambar (pemandangan, gunung dua buah, matahari di antara keduanya, awan, sawah, dan seterusnya). Atau belenggu-belenggu lain yang justru mengantarkan anak-anak pada perilaku-perilaku selfish, ego-centrism,merasa paling benar,sulit bergaul, mudah panik, mudah tersinggung, kurang berbagi, dan seterusnya.
Guru-guru ini mengajarkan life skills, bukan sekadar soft skills, apalagi hard skill. Berbeda dengan guru kognitif yang tak punya waktu berbicara tentang kehidupan, mereka justru bercerita tentang kehidupan (context) yang didiami anak didik. Namun, lebih dari itu, mereka aktif menggunakan segala macam alat peraga. Bagi mereka, memori tak hanya ada di kepala, tapi juga ada di seluruh tubuh manusia.
Memori manusia yang kedua ini dalam biologi dikenal sebagai myelin dan para neuroscientistmodern menemukan myelin adalah lokomotif penggerak (muscle memory). Di dalam ilmu manajemen, myelin adalah faktor pembentuk harta tak kelihatan (intangibles) yang sangat vital seperti gestures, bahasa tubuh, kepercayaan, empati, keterampilan,disiplin diri,dan seterusnya.
Saat bertemu guru-guru kognitif, saya sempat bertanya apakah mereka menggunakan alat-alat peraga yang disediakan di sekolah? Saya terkejut, hampir semua dari mereka bilang tidak perlu, semua sudah jelas ada di buku. Beberapa di antara mereka bahkan tidak tahu bahwa sekolah sudah menyediakan mikroskop dan alatalat bantu lainnya. Sebaliknya,guru-guru kreatif mengatakan: ”Kalau tidak ada alat peraga,kita akan buat sendiri dari limbah.
Kalau perlu, kita ajak siswa turun ke lapangan mengunjungi lapangan. Kalau tak bisa mendatangkan Bapak ke dalam kelas, kita ajak siswa ke rumah Bapak,”ujarnya. Saya tertegun. Seperti itulah guru-guru yang sering saya temui di negara-negara maju. Di negara-negara maju lebih banyak guru kreatif daripada guru kognitif. Mereka tak bisa mencetak juara Olimpiade Matematika atau Fisika,tetapi mereka mampu membuat generasi muda menjadi inovator, entrepreneur, dan CEO besar.
Mereka kreatif dan membukakan jalan menuju masa depan. Saat membuat disertasi di University of Illinois, para guru besar saya bukan memaksa saya membuat tesis apa yang mereka inginkan, melainkan mereka menggali dalam-dalam minat dan objektif masa depan saya. Sewaktu saya bertanya, mereka menjawab begini: ”Anda tidak memaksakan badan Anda pada baju kami, kami hanya membantu setiap orang untuk membuat bajunya sendiri yang sesuai dengan kebutuhannya.” Selamat merayakan Hari Pendidikan dan jadilah guru yang mengantarkan kaum muda ke jendela masa depan mereka.

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI

SEKOLAH UNTUK APA

Sekolah Untuk Apa?
Oleh: Rhenald Kasali

Beberapa hari ini kita membaca berita betapa sulitnya anak-anak kita mencari sekolah. Masuk universitas pilihan, susahnya setengah mati. Kalaupun diterima, bak lolos dari lubang jarum. Sudah masuk, ternyata banyak yang "salah kamar". Sudah sering saya mengajak dialog mahasiswa yang bermasalah dalam perkuliahan yang begitu digali selalu mengatakan mereka masuk jurusan yang salah.

Demikianlah, diterima di PTN masalah, tidak diterima juga masalah. Kalau ada uang bisa kuliah di mana saja. Bagaimana kalau uang tak ada? Hampir semua orang ingin menjadi sarjana, bahkan masuk program S2. Jadi birokrat atau jendral pun, sekarang banyak yang ingin punya gelar S3. Persoalan seperti itu saya hadapi waktu lulus SMA tiga puluh tahun yang lalu, dan ternyata masih menjadi masalah hari ini. Bahkan sekarang, memilih SMP dan SMA pun sama sulitnya.

Mengapa hanya soal memindahkan anak karena pindah rumah ke sekolah negeri lain saja biayanya begitu besar? Padahal bangku sekolah masih banyak yang kosong. Masuk sekolah susah, pindah juga sulit, diterima di perguruan tinggi untung-untungan, cari kerja susahnya minta ampun. Lengkap sudah masalah kita.

Kalau kita sepakat sekolah adalah jembatan untuk mengangkat kesejahteraan dan daya saing bangsa, mengapa dibuat sulit? Lantas apa yang harus dilakukan orang tua? Jadi sekolah untuk apa di negeri yang serba sulit ini?

Kesadaran Membangun SDM

Lebih dari 25 tahun yang lalu, saat berkuasa, PM Malaysia Mahathir Mohammad sadar betul pentingnya pembangunan SDM. Ia pun mengirim puluhan ribu sarjana mengambil gelar S2 dan S3 ke berbagai negara maju. hal serupa juga dilakukan China. Tidak sampai sepuluh tahun, lulusan terbaik itu sudah siap mengisi perekonomian negara. Hasilnya anda bisa lihat sekarang. BUMN di negara itu dipimpin orang-orang hebat, demikian pula perusahaan swasta dan birokrasinya.

Perubahan bukan hanya sampai di situ. Orang-orang muda yang kembali ke negerinya secara masif me-reform sistem pendidikan. Tradisi lama yang terlalu kognitif dibongkar. Old ways teaching yang terlalu berpusat pada guru dan papan tulis, serta peran brain memory (hafalan dan rumus) yang dominan mulai ditinggalkan. Mereka membongkar kurikulum, memperbaiki metode pengajaran, dan seterusnya. Tak mengherankan kalau sekolah-sekolah di berbagai belahan dunia pun mulai berubah.

Di negeri Belanda saya sempat terbengong-bengong menyaksikan bagaimana universitas seterkenal Erasmus begitu mudah menerima mahasiswa. "Semua warga negara punya hak untuk mendapat pendidikan yang layak, jadi mereka yang mendaftar harus kami terima," ujar seorang dekan di Erasmus. Beda benar dengan universitas negeri kita yang diberi privilege untuk mencari dan mendapatkan lulusan SLTA yang terbaik. Seleksinya sangat ketat.

Lantas bagaimana membangun bangsa dari lulusan yang asal masuk ini? "Mudah saja," ujar dekan itu. "Kita potong di tahun kedua. Masuk tahun kedua, angka drop out tinggi sekali. Di sinilah kita baru bicara kualitas, sebab walaupun semua orang bicara hak, soal kemampuan dan minat bisa membuat masa depan berbeda,"ujarnya.

Hal senada juga saya saksikan hari-hari ini di New Zealand. Meski murid-murid yang kuliah sudah dipersiapkan sejak di tingkat SLTA, angka drop out mahasiswa tahun pertama cukup tinggi. Mereka pindah ke politeknik yang hanya butuh satu tahun kuliah.

Yang lebih mengejutkan saya adalah saat memindahkan anak bersekolah di tingkat SLTA di New Zealand. Sekolah yang kami tuju tentu saja sekolah yang terbaik, masuk dalam sepuluh besar nasional dengan fasilitas dan guru yang baik. Saya menghabiskan waktu beberapa hari untuk mewancarai lulusan sekolah itu masing-masing, ikut tour keliling sekolah, menanyakan kurikulum dan mengintip bagaimana pelajaran diajarkan. Di luar dugaan saya, pindah sekolah ke sini pun ternyata begitu mudah.

Sudah lama saya gelisah dengan metode pembelajaran di sekolah-sekolah kita yang terlalu kognitif, dengan guru-guru yang merasa hebat kalau muridnya bisa dapat nilai rata-rata diatas 80 (betapapun stressnya mereka) dan sebaliknya memandang rendah terhadap murid aktif namun tak menguasai semua subjek. Potensi anak hanya dilihat dari nilai, yang merupakan cerminan kemampuan mengkopi isi buku dan cacatan. Entah dimana keguruan itu muncul kalau sekolah tak mengajarkan critical thinking. Kita mengkritik lulusan yang biasa membebek, tapi tak berhenti menciptakan bebek-bebek dogmatik.

Kalau lulusannya mudah diterima di sekolah yang baik di luar negri, mungkin guru-guru kita akan menganggap sekolahnya begitu bagus. Mohon maaf, ternyata tidak demikian. Jangankan dibaca, diminta transkrip nilainya pun tidak. Maka jangan heran, anak dari daerah terpencil pun di Indonesia, bisa dengan mudah diterima di sekolah yang baik di luar negeri. Bahkan tanpa tes. Apa yang membuat demikian? "undang-undang menjamin semua orang punya hak yang sama untuk belajar," ujar seorang guru di New Zealand.

Lantas, bukankah kualitas lulusan ditentukan inputnya? "itu ada benarnya, tapi bukan segala-galanya," ujar putera sulung saya yang kuliah di Auckland University tahun ketiga. Maksudnya, test masuk tetap ada, tetapi hanya dipakai untuk penempatan dan kualifikasi.

Di tingkat SLTA, mereka hanya diwajibkan mengambil dua mata pelajaran wajib (compulsory) yaitu matematika dan bahasa Inggris. Pada dua mata pelajaran ini pun mereka punya tiga kategori: akselerasi, rata-rata, dan yang masih butuh bimbingan. Sekolah dilarang hanya menerima anak-anak bernilai akademik tinggi karena dapat menimbulkan guncangan karakter pada masa depan anak, khususnya sifat-sifat superioritas, arogansi, dan kurang empati. Mereka hanya super dikedua kelas itu, di kelas lain mereka berbaur. Dan belum tentu superior di kelas lain karena pengajaran tidak hanya diberikan secara kognitif semata.

Selebihnya, hanya ada empat mata pelajaran pilihan lain yang disesuaikan dengan tujuan masa depan masing-masing. Bagi mereka yang bercita-cita menjadi dokter maka biologi dan ilmu kimia wajib dikuasai. Bagi yang akan menjadi insinyur wajib menguasai fisika dan kimia. Sedangkan bagi yang ingin menjadi ekonom wajib mendalami accounting, statistik dan ekonomi. Anak-anak yang ingin menjadi ekonom tak perlu belajar biologi dan fisika. Beda benar dengan anak-anak kita yang harus mengambil 16 mata pelajaran di tingkat SLTA di sini, dan semuanya diwajibkan lulus di atas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).

Bayangkan, bukankah cita-cita pembuat kurikulum itu orangnya hebat sekali? Mungkin dia manusia super. Seorang lulusan SLTA, tahun pertama harus menguasai 4 bidang science (biologi, ilmu kimia, fisika dan Matematika), lalu tiga bahasa (Bahasa Indonesia, Inggris dan satu bahasa lain), ditambah PPKN, sejarah, sosiologi, ekonomi, agama, geografi, kesenian, olahraga dan komputer. Hebat sekali bukan? Tidak mengherankan kalau sekolah menjadi sangat menakutkan, stressful, banyak korban kesurupan, terbiasa mencontek, dan sebagainya. Harus diakui kurikulum SLTA kita sangat berat. Sama seperti kurikulum program S1 dua puluh tahun yang lalu yang sejajar dengan program S1 yang digabung hingga S3 di Amerika. Setelah direformasi, kini anak-anak kita bisa lulus sarjana tiga tahun. Padahal dulu butuh lima tahun. Dulu program doktor menyelesaikan di atas 100 SKS, makanya hampir tak ada yang lulus. Kini seseorang bisa lulus doktor dalam tiga tahun.

Anda bisa saja mengatakan, dulu kita juga demikian tapi tak ada masalah kok! Di mana masalahnya? Masalahnya, saat ini banyak hal telah berubah. Teknologi telah merubah banyak hal, anak-anak kita dikepung informasi yang lebih bersifat pendalaman dan banyak pilihan, namun datang dengan lebih menyenangkan. Belajar bukan hanya dari guru, tapi dari segala resources. Ilmu belajar menjari lebih penting dari apa yang dipelajari itu sendiri, karena itu diperlukan lebih dari seorang pengajar, yaitu pendidik. Guru tak bisa lagi memberikan semua isi buku untuk dihafalkan, tetapi guru dituntut memberikan bagaimana hidup tanpa guru, Lifelong learning.

Saya saksikan metode belajar telah jauh berubah. Seorang guru di West Lake Boys School di Auckland mengatakan, "Kami sudah meninggalkan old ways teaching sejak sepuluh tahun yang lalu. Makanya sekolah sekarang harus memberikan lebih banyak pilihan daripada paksaan. Percuma memberi banyak pengetahuan kalau tak bisa dikunyah. Guru kami ubah, metode diperbaharui, fasilitas baru dibangun," ujar seorang guru.

Masih banyak yang ingin saya diskusikan, namun sampai di sini ada baiknya kita berefleksi sejenak. Untuk apa kita menciptakan sekolah, dan untuk apa kita bersekolah? Mudah-mudahan kita bisa mendiskusikan lebih dalam minggu depan dan semoga anak-anak kita mendapatkan masa depannya yang lebih baik.